Video & Masa Depan Promosi Pariwisata Lokal

Oleh M. Zulfi Ifani, S.I.P.*

Hari ini ketika kita berbicara pariwisata, maka kita pun harus melihatnya dengan kacamata industri. Sejak lama, industri pariwisata memang memiliki fungsi strategis menjawab persoalan lapangan kerja & pertumbuhan ekonomi suatu negara. Posisi industri pariwisata bahkan bisa menggantikan ketergantungan suatu negara terhadap SDA mineral seperti minyak, gas atau bahkan emas. Lihat saja bagaimana negara kecil seperti Hongkong atau Singapura bisa berkembang lewat industri pariwisata. Bila ditarik ke konteks lokal. Mestinya, Indonesia yang memiliki segudang potensi pariwisata bisa berkembang lebih jauh.

Potensi inilah yang hendak saya ‘sentil’ dalam tulisan ini. Bagaimana potensi lokal di Indonesia sebenarnya begitu banyak dan menarik. Saya punya pengalaman pribadi ketika mengunjungi dan memproduksi video di sebuah dusun yang terletak di pucuk perbukitan Menoreh, yaitu Dusun Nglinggo, Desa Pagerharjo, Samigaluh, Kulonprogo.

Dusun yang terletak sekitar 50 kilometer barat laut dari Kota Yogyakarta ini memiliki panorama alam yang indah karena dikeliling oleh perbukitan Menoreh. Letaknya berada di perbatasan antara provinsi DI Yogyakarta dan Jawa Tengah. Secara geografis misalnya, pemandangan alam dusun ini begitu indah mengingat letaknya yang berada di ketinggian 900 dpl. Belum lagi, perkebunan teh dan kopi yang tersebar luas, menambah daya tarik wisatawan.

Masih belum cukup, karena ada potensi wisata budaya lokal khas Nglinggo, Lengger Tapeng. Lengger Tapeng merupakan merupakan tarian lokal yang telah ada sejak awal abad ke-19 di Dusun Nglinggo. Keseluruhan Pentas Lengger Tapeng biasanya ditujukan untuk dakwah agama sekaligus upacara adat untuk melepas Nadzar (janji) atau biasa diistilahkan dengan Nawung Gati.

Untuk lebih mudahnya, alangkah lebih baik bilamana pembaca bisa melihat video tentang Nglinggo dan Lengger Tapeng yang pernah saya produksi di bawah ini:

Akan tetapi, memang potensi alam dan budaya yang begitu menarik ini masih terhambat oleh beberapa faktor klasik seperti akomodasi, transportasi dan regenerasi. Akomodasi dan transportasi, harus diakui sebenarnya menjadi masalah pariwisata lokal dimana-mana. Di Nglinggo sendiri, belum ada rumah warga atau penginapan yang benar-benar siap secara fasilitas untuk menerima wisatawan. Belum lagi transportasi yang begitu sulit untuk mencapai Nglinggo yang berada di puncak bukit. Solusinya tentu, bagaimana warga dan pemerintah lokal bahu membahu menyiapkan akomodasi dan transportasi yang memadai agar tidak ada calon wisatawan yang kecewa dengan kedua fasilitas pendukung tersebut.

Selanjutnya, regenerasi yang dimaksud adalah bagaimana generasi muda yang ada di Nglinggo bisa mewarisi dan meneruskan potensi wisata yang ada. Perkebunan teh dan kopi yang ada misalnya, kini dikerjakan oleh mayoritas generasi tua, sedangkan generasi mudanya lebih memilih pergi ke kota dan bekerja di sana. Sedangkan di pentas Lengger Tapeng, kondisi serupa juga terjadi. Dimana sebagian besar pegiatnya sudah cukup berumur. Kalaupun ada penerus dari generasi muda, jumlahnya pun bisa dihitung. Tentu realita ini cukup menyedihkan. Tanpa ada generasi muda yang siap meneruskan, niscaya potensi wisata lokal lambat laun akan punah.

Saya kira tiga masalah mendasar ini dihadapi oleh hampir setiap objek pariwisata lokal. Sehingga, perlu dibenahi terlebih dahulu, sebelum kita beranjak ke tahapan promosi. Logikanya sederhana bagi saya, bila objeknya saja belum siap, bagaimana kita bisa memuaskan calon wisatawan? Bisa jadi, masih banyak masalah lain yang dihadapi oleh pariwisata lokal. Akan tetapi, hemat saya setidaknya tiga masalah tersebut bisa mewakili. Dari pemetaan masalah lalu solusinya, baru kita bisa masuk ke tahap berikutnya yaitu PROMOSI.

Pertanyaan besarnya adalah kenapa harus promosi dengan video?

Bila harus menjawab dengan statistik saya ingin menjelaskan bahwa media terbesar yang diakses oleh warga Indonesia adalah Televisi (coverage-nya hampir 90%). Hari ini televisi sudah tidak lagi dimonopoli oleh TVRI, ada belasan TV nasional dan bahkan di daerah ada begitu banyak TV lokal yang siap diisi pula dengan content lokal. Ini belum termasuk implementasi TV digital yang tentunya akan semakin membuka lebar peluang diversifikasi content. Sederhananya, makin banyak TV tentu makin banyak pula content video yang dibutuhkan.

Selain itu, internet juga terus berkembang ke arah yang seakan-akan tidak berbatas. Youtube misalnya, portal video online terbesar di dunia ini dalam sehari dikunjungi oleh lebiih dari 3 miliar pengujung setiap harinya. Sekali upload, sebuah video dari pelosok Nglinggo misalnya akan dapat ditonton oleh pengunjung dari Inggris. Angka pengunjung Youtube tadi tentu menjadi sangat besar, bilamana kita berbicara potensi pasar wisatawan. Tentu begitu naif bilamana pelaku pariwisata tidak meliriknya atau minimal memikirkannya.

Begitu pula ketika kita berbicara efek, dibandingkan dengan media lainnya video merupakan media yang paripurna efeknya, baik secara kognitif, afektif maupun psikomotorik. Video jauh lebih baik dicerna dibanding tulisan, gambar (foto) maupun sebatas audio (radio). Yang perlu digarisbawahi, pengembangan video pariwisata ini juga merupakan strategi untuk mempromosikan objek wisata lokal yang belum terekspos secara masif oleh media mainstream. Saya yakin dengan dasar berpikir seperti ini, masa depan promosi pariwisata lokal memang berada di tangan para videografer lokal.

Hal mendasar kenapa video sebaiknya diproduksi di tingkat warga lokal adalah keyakinan bahwa produksi video dapat memperkuat kerjasama komunitas lokal yang ada. Gambar & alur cerita yang dibangun pun bisa jadi lebih jujur dan apa adanya ketimbang mempercayakan produksi itu oleh videografer dari luar daerah.

Oleh karena itu, perlu ada strategi teknis untuk mengembangkan video sembari objek pariwisata itu sendiri yang dibenahi. Strategi yang saya rumuskan di sini berbasis pada citizen video journalism, atau dalam hal ini video dari warga, oleh warga dan untuk warga sendiri. Pemerintah khususnya Kementerian atau Dinas Pariwisata tidak perlu menjadi aktor utama. Tugasnya cukup menjadi support system dalam diseminasi virus produksi video untuk pariwisata. Sehingga, model yang nanti akan dikembangkan adalah model bottom-up dengan mengedukasi masyarakat & komunitas lokal untuk membuat media promosi mereka sendiri.

Pertama, saya kira pendidikan video bisa dimasukkan ke sampai tingkat sekolah lokal di tingkat kecamatan (SMP/SMA). Tidak perlu investasi alat sampai dengan ratusan juta, karena kini dengan beberapa juta saja handycam dan komputer editing bisa didapatkan dimana-mana. Nantinya untuk tugas akhir, siswa pun bisa difokuskan untuk produksi video potensi wisata lokal di sekitarnya.

Kedua, pemerintah bisa mulai memberi slot anggaran (bisa dalam bentuk call for papers/video) untuk para videografer lokal. Dengan insentif anggaran produksi yang ada diharapkan video pariwisata yang diproduksi pun bisa berkualitas dan istimewa. Selaras dengan pepatah Jawa “Ona rega, ana rupa”. Dengan anggaran yang cukup, video promosi bisa menggunakan variasi video, semisal video udara atau underwater yang tentunya akan jauh lebih menarik.

Ketiga, bila sebelumnya sudah ada kompetisi dokumenter atau film fiksi di tingkat lokal Yogyakarta (misal JAFF atau FFD). Sepertinya pemerintah perlu juga memfasilitasi lahirnya Kompetisi Video Promosi Pariwisata. Iklim kompetisi yang bagus tentunya akan makin menarik para videografer pemula maupun profesional untuk datang dan meliput potensi wisata lokal yang ada.

Nantinya semua produk video promosi pariwisata yang ada. Bisa disebarkan lewat jaringan TV baik lokal maupun nasional, dibawa ke festival-festival film dalam & luar negeri, atau sebatas diupload secara massal ke jaringan internet (youtube, facebook, vimeo, dll).

Ketiga usulan strategi promosi turunan dari video promosi pariwisata tersebut tentu bukanlah harga mati. Masih dimungkinkan usulan-usulan strategi lain. Akan tetapi, apapun usulan yang masih bisa dimasukkan, saya berpandangan bahwa citizen video journalism (atau di sini saya istilahkan sebagai video berbasis warga) harus diutamakan. Warga lokal harus mampu memetakan potensi wisata lokal di daerahnya, lalu kemudian memproduksi sendiri video promosinya. Dari warga, oleh warga dan untuk warga sendiri.

*Alumnus Ilmu Komunikasi UGM, Pegiat Video Dokumenter & Pemilik CV. IFrame Multimedia (IFrameMultimedia.com)

Referensi:

Mahasta, Dyah Sri, dkk.2011. Seni Tari Pertunjukan dan Tontonan. Yogyakarta: Program Pascasarjana ISI Yogyakarta.

Djalal, Ariani & Danusiri, Aryo. 2008. Video Kampung. Jakarta: Ragam Media Network.

elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/…/1786.pdf

http://www.thinkdigital.co.id/youtube-the-part-of-viral-marketing/

Video

Video “Lengger Tapeng”. Sutradara M. Zulfi Ifani. Produser Tommy Sindu. 2012.

Nara Sumber:

Teguh Kumoro. Kepala Dusun Nglinggo Timur.

Toro. Pegawai Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kulonprogo.

Sumarlan. Pegiat Lengger Tapeng.